OLEH MARIA HARTININGSIH & COKORDA YUDISTIRA
http://www.thebalitimes.com/wp-content/uploads/2010/08/OD-23.jpg
LUH KETUT SURYAN
- Lahir: Singaraja, Bali, 22 Agustus 1944
- Suami: Prof Dr dr Tjokorda Alit Kamar Adnyana, SpFK
- Anak: 6 dan 16 cucu
- Penvapaian: Pernah memegang berbagai jabatan, menjadi anggota organisasi dokter dan ahli jiwa dalam dan luar negeri. Ia mendapatkan lebih dari 10 penghargaan,termasuk untuk membebaskan dan mengobati pasien gangguan jiwa yang dipasung.
- Karya buku: Lebih dari 20 buku dan puluhan tulisan dalam antologi dan jurnal internasional tentang keterkaitan spiritualitas, kebudayaan, agama, kesehatan mental, pola asuh dan perubahan sosial. Ia memberi bimbingan meditasi dan relaksasi gratis untuk masyarakat.
"Telah begitu lama mereka dengan gangguan jiwa berat dibiarkan tanpa penanganan," tutur Prof Dr dr Luh Ketut Suryani, SpKJ (K) (70).
Berdasarkan survei Suryani Institute for Mental Health (SIMH) tahun 2008 di Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng dan Kecamatan Denpasar Timur, diperkirakan 7.000 orang di Bali mengalami gangguan jiwa berat, 300-an dipasung. Jumlah itu menjadi 9.000 pada tahun 2010, atau 2,3 per 1.000 penduduk. Jumlah itu lebih rendah daripada rata-rata nasional 4,6 per 1.000 penduduk. Dari 18.000 orang dengan gangguan jiwa berat yang dipasung di Indonesia, 350 orang berada di Bali.
Disangkal
Namun, kenyataan muram itu banyak disangkali, bahkan ketika foto-fotonya dipapar dalam Pameran Foto Internasional "Terpasung di Pulau Surga: Air Mata Lensa, Membaca Mereka yang Terpasung",beberapa waktu lalu di Denpasar.
Seluruh upaya Suryani berawal dari survei tentang bunuh diri di Bali. "Hasil survei kami tahun 2005, hnya 10 kasus bunuh diri, itu pun jarang memakai tali. Namun, setelah bom Bali tahun 2006, ada 180 kasus gantung diri. Kasus bunuh diri terbanyak disebabkan gangguan jiwa berat.
Survei itu dia lanjutkan. Berdasarkan penelitian doktoralnya, Suryani memperkirakan jumlah orang dengan gangguan jiwa sekitar 50 orang. Ternyata, "Di Karangasem kami temukan 855 orang dengan gangguan jiwa berat. Di Buleleng dan Denpasar ditemukan 120 orang dari 120.000 penduduk," kata Suryani yang waktu penelitiannya pun molor dari dua bulan menjadi 10 bulan.
Suryani berkata seharusnya Hospital
based sudah ditinggalkan. "Community based treatment lebih efektif. kami
mendidik masyarakat, pasien, dan keluarga untuk mengenali tanda dini akan
kumat. Selain itu, on call tetap jalan, obat seminimal mungkin karena pasti ada
efek samping, kecuali dalam keadaan gawat." Perjuangan keras suryani untuk
mendapatkan perhatian pemerintah setelah hasil survei disampaikan tak
membuahkan hasil. "mereka sebatas terkejut," kenang suryani.
"Pemerintah mendiskriminasi gangguan jiwa. Program lebih terpusat pada
penyakit fisik."
Dengan adanya bantuan dana Rp 1
miliar dari Gubernur bali Mangku Pastika, tahun 2009 suryani dan tim membantu
326 orang, dengan lama sakit yang berulang antara 5-40 tahun. "Sebagai
psikiater, saya lihat hasilnya mngejutkan karena 31% pasien sembuh tanpa obat,
3% tidak ada perbaikan, dan 66% membaik, tetapi masih perlu obat." kata
suryani. Namun, karena banyak komentar negatif bantuan dana harus dipotong. Dan
setelah sebulan kemudian dana dipotong 90%. ungkapnya "saya hanya bisa
menangani yang sangat serius, tetapi enam bulan kemudian sebagian besar kambuh."
Dari 684 pasien yang ditanganinya, 37% sembuh tanpa obat, 62% membaik, tetapi
masih perlu obat, dan 1% tak ada perubahan.
Suryani dikenal sebagai sosok
kontroversial. Ia berani melawan apapun karena punya pijakan kuat yang didasari
penelitian panjang. Metodenya yang dulu dicibir kini terjelaskan secara ilmiah,
khususnya tentang bio psikospirit-sosio budaya dan hipnosis yang sempat membuat
dia dituduh sebagai dukun. Ia menolak peraturan menangani pasien hanya diruang
praktek. Suyani yang mengambil speialisasi kedokteran jiwa karena ingin
mempelajari diri sendiri menuturkan, pengalamannya melakukan memory reframing
ingin ia tularkan kepada orang lain.
Sumber: Harian Kompas, Kamis 23
Oktober 2014